Berikut adalah lanjutan dari pembahasan “Menjawab Kerancuan Seputar Alkohol“. Pada posting kali ini kita akan melihat bagaimanakah jadinya jika seseorang bersekongkol dalam memproduksi khomr padahal khomr telah nyata-nyata haramnya.
Semoga bermanfaat.
Dalil yang Menunjukkan Keharaman Khomr
Dalil pertama: Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ , إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al Ma-idah: 90-91)
Dalam ayat ini dari beberapa sisi kita dapat melihat keharaman khomr:
- Khomr dalam ayat tersebut dikaitkan dengan penyembahan pada berhala.
- Allah menyebut rijsun (jelek).
- Khomr termasuk perbuatan syaithan. Setan pastilah datang dengan membawa kejelekan dan hal yang kotor.
- Kita diperintahkan untuk menjauhi khomr.
- Seseorang yang menjauhinya akan mendapatkan keberuntungan. Jika seseorang malah mendekati khomr, malah termasuk orang yang merugi.
- Khomr dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian.
- Allah menutup dengan mengatakan (فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ), berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).[1]
Dalil kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ
“Allah melaknat khomr, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, orang yang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, orang yang mengantarnya dan orang yang meminta diantarkan.”[2] Yang dimaksud adalah Allah melaknat dzat khomr, agar setiap orang menjauhinya. Bisa pula yang dimaksudkan dengan “Allah melaknat khomr” adalah melaknat memakan hasil upah dari penjualan khomr.[3]
Dalil ketiga: Ijma’ (kesepakatan para ulama umat Islam) menyatakan bahwa khomr itu haram.[4]
Konsekuensi dari Keharaman Khomr
Jika telah jelas keharaman khomr, sebagai konsekuensinya, seseorang tidak boleh mendapatkan atau memiliki khomr dengan cara apapun, baik itu adalah pilihan atau kehendaknya sendiri seperti melalui jual-beli dan hadiah.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الَّذِى حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا
“Sesuatu yang haram dikonsumsi (diminum), haram pula untuk menjualnya.”[5]
Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khomr, bangkai, babi dan berhala.”[6]
Oleh karena itu, tidak boleh bekerjasama untuk memproduksi, mendistribusi dan menjual khomr, sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Allah melaknat khomr, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, orang yang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, orang yang mengantarnya dan orang yang meminta diantarkan.”[7]
Sehingga dengan demikian, tidak boleh seseorang menjadi pekerja (buruh), distributor dan penjual dalam usaha khomr, baik itu minuman beralkohol (minuman keras), narkotika, morfin, ganja dan semacamnya. Semua upah yang diperoleh adalah upah yang haram.
Pembahasan selanjutnya adalah “Apakah Khomr Itu Najis?“
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Alumni Teknik Kimia UGM)
Artikel https://rumaysho.com
[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/385.
[2] HR. Abu Daud no. 3674 dan Ibnu Majah no. 3380, dari Ibnu ‘Umar. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 2356.
[3] Lihat ‘Aunul Ma’bud, 8/174, Mawqi’ Al Islam
[4] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/8757
[5] HR. Muslim no. 1579, dari Ibnu ‘Abbas.
[6] HR. Bukhari no. 2236 dan Muslim no. 1581, dari Jabir bin ‘Abdillah.
[7] HR. Abu Daud dan Ibnu Majah, shahih.